Makalah Tentang Ketentuan
Waris Dalam Islam
Di Susun Oleh :
KELOMPOK 1 :
Yenda Putri
Oktama
Atek Utriza
Putri
Olivia Gustina
Agnes Afdi
Pratama
Yeki Adi Putra
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMAN 7 BENGKULU SELATAN
2019
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat
Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu
dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari
alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum
warisan pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL
SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “Hukum Waris Menurut Hukum Islam”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun
isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan
dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ .........
DAFTAR
ISI.....................................................................................................................
BAB
I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... .........
C. Tujuan
penulisan......................................................................................................
BAB
II :
PEMBAHASAN
A. Kewarisan menurut hukum
islam...................................................................
.........
B. System hukum warisan
menurut hukum perdata...........................................
.........
C. Perbedaan dan
persamaan.......................................................................................
BAB
III : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... .........
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. .........
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai salah satu negara bekas
jajahan Hindia Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta
agama, mempunyai ciri khas tersendiri, yang tida dipunyai oleh negara-negara
lain, karena beraneka ragam suku, adat istiadat inilah maka mengenai sitem
hukum yang berlaku berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat
kekeluargaan, golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan ditentukan
oleh corak warisan dari kolonial Hindia Belanda, sehingga hukum warisan
yang berlaku di Indonesia juga masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga
negara, yaitu:
1. untuk orang
Indonesia asli, dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat kewarisan di
Indonesia mengenal 3 (tiga) macam sistem susunan kekeluargaan yang sangat
mempengaruhi lingkungan adat yang satu dengan lingkungan hukum adat lainnya,
yakni:
a. Golongan
yang bersifat kebapakan, maka seorang isteri oleh karena perkawinan dilepaskan
dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya, leluhurnya serta sanak
keluarganya yang lain. Sejak perkawinannya jika isteri masuk kedalam rumpun
keluarga suaminya. Demikian pula dengan anak dan turunannya dari perkawinan itu
kecuali dalam hal anak itu perempuan yang telah pernah kawin juga masuk dalam
lingkungan suaminya. Corak dari perkawinan yang bersifat kebapakan, dikenal
dengan perkawinan jujuran, yaitu si isteri dibeli oleh keluarga suaminya dari
keluarga isteri itu dengan jumlah uang yang disepakati dari pembelian tanah
Batak, dan inilah yang disebut jujuran atau perujuk atau Tuhor Boli, dan di
tanah Gayo dinamakan Onjong, kekeluargaan yang bersifat kebapakan di Indonesia
ini juga terdapat di daerah Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Golongan yang
bersifat keibuan, di Indonesia terdapat di tanah Minangkabau. Sejak perkawinan
itu dilakukan maka suami berdiam di rumah isterinya atau keluarganya, suami
tidak masuk keluarga isteri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap
kepunyaan ibu saja, dan si ayah/bapak pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan
terhadap anak yang lahir, dan si suami mendapat penghibaan dari isterinya baik
berupa uang ataupun barang atau ongkos-ongkos untuk keperluan rumah tangga
suami isteri bersama turunannya yang biasanya diambil oleh keluarga isteri dan
milik ini dikuasai oleh seorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu
seseorang yang paling dituakan atau tertua dari keluarga si isteri.
c. Golongan
kebapak-ibuan, di Indonesia adalah yang paling merata yaitu
golongan yang bersifat parental yang meliputi daerah Jawa, Madura, Sumatera,
Riau, Aceh dan lain-lain yang menonjol kekeluargaannya yang bersifat parental,
dan pada hakekatnya tidak perbedaan antara suami dengan isteri dalam
kedudukannya, dari akibat perkawinannya sisuami menjadi anggota keluarga
si isteri dan sebaliknya pula sisuami menjadi anggota keluarga siisteri.
2. Untuk orang
Indonesia asli yang beragama Islam diberbagai daerah, maka hukum
Kewarisan Islam sangat berpengaruh.
3. Untuk warga
negara Indonesia yang keturunan Tionghoa dan Eropah berlaku hukum kewarisan
perdata BW.
B. Rumusan
Masalah.
Dari uraian di
atas, penulis mencoba membahas hukum waris menurut Hukum Islam dan menurut
Hukum Perdata (BW), dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
ada perbedaan dan persamaan sistem pembagian harta waris menurut
hukum Islam dan menurut hukum Perdata (BW)?.
2. Sejauh
mana perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum kewarisan
tersebut?.
B
A B II
PEMBAHASAN
A. Kewarisan
Menurut hukum Islam
Hukum
Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan
(Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan
pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya,
sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam,
akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah
ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang
berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa
yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak
ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan
oleh rasulullah Saw. Yang artinya “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah
kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena
sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi
akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam
adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak
adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits
rasulullah di atas.
Dalam
pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini,
yaitu:
a. hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah
orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.
c. Ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
d. Harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta
warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Baitul Maal
adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut
ketentuan pasal 175 KHI adalah:
a. Mengurus
dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan
baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris
maupun menagih piutang.
c. Menyelesaiakan
wasiat pewaris.
d. Membagi harta
warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau
perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak
menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal
188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama
sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta
tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka
masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga
dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik
para ahli warisnya (Pasal 190 KHI). Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris
tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila
pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka
janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di
Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan.
b. Kewarisan,
wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf
dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik
kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek
pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja).
Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak
laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah
isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau
cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan
isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum
bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang
artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan,
jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka
isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak
mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak,
berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu
(suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan
sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
a. Seorang
anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki.
b. Dua anak
perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai
anak laki-laki.
c. Seorang
anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka
pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak
perempuan mendapat satu bagian),
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An
Nisa’ Ayat 11 yang artinya: “Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a. Apabila
hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai
ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris
dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada
ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b. Apabila
anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli
waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun
jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair),
berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris
adalah sebagai berikut:
1. Ibu mendapat seperenam,
apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Ibu mendapat
sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu
maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan
seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya
keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua
orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris
itu mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a. Apabila
sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak
mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila
pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta
peninggalan dengan jalan ashabah.
c. Apabila
pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil
2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a. Apabila
seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu,
maka nenek mendapat bagian 1/6.
b. Apabila
seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan
ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak
mewaris adalah:
a. Pembunuh
pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu
Daud dan An Nasa’i.
b. Orang murtad,
yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Bardah.
c. Orang
yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam
atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan
diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin,
1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu,
maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari
pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun
perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain
terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
B. Sistem Hukum
kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua
cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli
waris menurut Undang-undang.
2. Karena
ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut
Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara
“testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja
yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat
testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan
sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami
atau isteri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat bagian yang sama
jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak
ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat
warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila
tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh
untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang
meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam
KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika
seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya,
maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian
itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah
dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada
pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat
dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh
Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta
tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan
selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan
lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan
memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum,
seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat.
Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil
atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang
pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut
akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang
dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris
ialah:
a. Mereka
yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
pewaris.
b. Mereka yang
dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka
yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiatnya.
d. Mereka yang
telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum
Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan
antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka
berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka
KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris
berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu
jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum
waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut
KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut
system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya
pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap
ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan
yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral
(Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris
meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu
pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan
zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya
dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH
Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada
besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing,
yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama,
tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama
rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang
satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan
kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan
perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat
adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah
individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar
belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup
dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani
(magis).
B
A B III
P
E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan
dalam pembahasan makalah ini, maka penulis dapat menarik bebarapa
kesimpulan,antara lain:
1. Bahwa ternyata
sistem kewarisan baik menurut ketentuan KUH Perdata maupun menurut ketentuan
hukum Islam terdapat persamaan-persmaan dan perbedaan-perbedaan.
2. Persamaannya
adalah bahwa keduanya menganut sistem kewarisan individual bilateral, yakni
setiap ahli waris berhak memperoleh warisan baik harta warisan dari ibunya,
maupun harta warisan dari bapaknya, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada
besarnya bagian masing-masing ahli waris. Dan setelah penulis membandingkan
antara kedua sistem tersebut penulis lebih cenderung memilih sistem hukum
Islam, karena lebih logis, proporsional dan lebih adil.
B.
Saran
Para hakim Peradilan Agama sebagai ujung tombak
penegakan hukum Islam seharusnya menegakkan sistem hukum kewarisan
menurut Islam, sebab hukum kewarisan menurut Islam lebih logis, proporsional
dan lebih adil dibandingkan dengan sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata,
oleh karena itu seharusnuya Lembaga yang berwenang juga harus membuat unifikasi
hukum yang melindungi dan mengayomi kesadaran hukum kewarisan Islam, sebab
negara Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Manan, H., 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata
dan Wewenang Pengadilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Abdurrahman, H, 1995, Kompilasi Hukum
Islam, Akademika Pressidno, Jakarta.
Hazairin, 1964, Tujuh serangkai Tentang Hukum,
PT Bina Aksara, Jakarta.
Idris Ramulyo, 1994, Perbandingan Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta.
M. Isa Arief, dan. A. Pitlo, 1986, Hukum
waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT., intermasa, Jakarta.
Moh. Rifa’i, H, 1978, Kumpulan Ilmu Fiqih Islam
Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang.
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.
Intermasa, Jakarta.
No comments:
Post a Comment