MAKALAH TENTANG PENINJAUAN PERNIKAHAN
DALAM
ISLAM
NAMA
KELOMPOK 1:
APRIZON
DESTI
NIKE
NONNI
SUBHAN
INDIRWAN
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
SMA NEGERI 7 BENGKULU SELATAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. alhamdulillahirabbilalamin. Segala puji bagi Allah
yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan dan
menyelesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta yakni nabi Muhammad SAW.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas Agama tentang” Peninjauan pernikahan dalam pandangan islam.
Makalah ini memuat tentang agama Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
agustus 2017
penyusun
DAFTAR ISI
Cover………………………………………………………………………………
Kata
Pengantar..........................................................................................................
Daftar
Isi....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi dan Dasar Hukum
Nikah……………………………………
B. Rukun Nikah……………………………………………………….
C. Khitbah ( peminangan )…………………………………………….
D. Hukum Menikah…………………………………………………….
E. Anjuran Islam………………………………………………………..
F. Tujuan Nikah……………………………………………………….
BAB III PENUTUP
1.
simpulan................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
alt="*" v:shapes="_x0000_i1025"> Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan
Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah,
mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1,
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana
difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang
demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika
manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi
Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku
nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan
dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah
naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari
sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.(QS. an-Nuur ayat 32).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal dari
bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan
menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7] Sedangkan
menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan
antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan
pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan
adalah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad
yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[3][9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab
yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka
mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi
seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan
(diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan
kedua kata tersebut.[4][10]
Dalam kompilasi hukum islam
dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat ataumitsaqan
ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman
Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.(QS.Ar-Rum ayat 21)
B. Rukun Nikah
1. WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu
`Alaihi Wasallam:
ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا
بَاطِلٌ. بَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah
tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud,
At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam
bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali
dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam
Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3. AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian
yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk
ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari
pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari
pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya
yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari
pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang
bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan
kewajiban yang harus dipenuhi:
1. Adanya suka sama suka dari kedua calon
mempelai.
2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya Mahar.
4. Adanya Wali.
5. Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai
akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika
mengucapkan ijab qobul tidakboleh diselingi
dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami
oleh masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan
yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidakboleh '
v:shapes="_x0000_i1026">
menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut
sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan
Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir
Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan ketika
akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang
bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama
Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4. MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan
seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar juga merupakan
pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya
akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk
dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam
syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan
dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar
meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar
yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah
berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita
tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh
lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ
أَوْ يَتْرُكَ
“Tidakboleh seseorang
meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu
menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR.
Al-Bukhari no. 5144)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi
oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita
yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
1. Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa.
Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah
perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
2.
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ
فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila datang kepada kalian (para wali)
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian)
maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila
kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Persetujuan seorang gadis
adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
D. Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku
hukum taklifi yang lima yaitu :
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam
praktek perzinahan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir
dan batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member
belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang
mewajibkan segera nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk
nikah.
E. Anjuran Islam
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk
menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1. Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ
أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ
بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS.
Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal
yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4]
menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
2. Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3. Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
4. Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah
berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal
menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5. Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada
pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa
ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada
perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga
menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka
dianjurkannya supaya kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal
menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti
kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus
persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan
duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan
"Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi
dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan
hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia
berkata:
'Sesungguhnya orang-orang
sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri
mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di
gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia,
berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan
meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا
أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang
baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati
batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati
batas. (QS. Al-Maidah: 87)
6. Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis,
menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluq hidup. Allah
SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam
bentuk berpasangan satu sama lain.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
F. Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya
tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan
kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena
tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di
antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang
penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan
banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya,
menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad)
kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur:
30-31)
G. Hikmah Pernikahan
1. Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan
kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan
merawat anak.
4. Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang
produktif dengan memperhatikan hak dan kewajiban.
H. Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di
Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1
tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan
perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan
menurut agama dan kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami
istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya
yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari
atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan
ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah
tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak
dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya hidup
bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan para
pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada
anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup
bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan
dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang lahir dari perkawinan
diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan
perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan
perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti
kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan
dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan
anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya
perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
I. Nikah Siri
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini
dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju
atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan
syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak
dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan sirri adalah:
1. Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang
tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang
tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon
pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu
supaya tidak diambil oleh orang lain.
2. Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan
terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah
secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang resmi, tetapi ingin
menikah lagi dengan orang lain.
3. Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari
dosa karena zina. Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin
dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar
syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan
gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4. Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa
belum siap secara materi dan secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para
mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka masih kuliah, belum
punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahanpun
masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan
teman-teman di kampus.
5. Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang
tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu
masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar.
Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama
dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh
kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga
nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi
yang berbelit-belit.
6. Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan
dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada
kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang
berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat
merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan
terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum
di bidang hukum keluarga, dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan
perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan
pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di
KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan
kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9
tahun 1975” dengan dicatat di kantor catatan sipil.[7][3]
Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi
dikotomi antara apa yang dipahami sebagai syarat sah perkawinan menurut
kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu
dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan
pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari forum ijtima yang
dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut
digelar beberapa waktu lalu di kompleks pondok modern Darussalam Gontor,
Pacitan, Jawa Timur”[8][4].
Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban
1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan
harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah
prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.[9][5]
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak
tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah di bawah tangan tersebut. Hal
tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang untuk melaksanakan
pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga tidak terdapat
kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat perlindungan terhadap wanita.
Menurut Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia
harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[10][6]
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat
adalah, seseorang akan mengalami kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum,
hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas
pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek
hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa
kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang
isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli
waris dari si suami (yang meninggal).
Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli
waris tersebut adalah isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia.
Demikian pula bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak tersebut
benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal
ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik berupa
akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain,
dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan
oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia
benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari
pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal
perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber
adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung
dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.
J. Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum
dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional; dan
2. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang
diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal 10).[11][11]
Adapun tentang nikah di bawah tangan
dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa nikah di bawah tangan yang
dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa
pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.[12][12]
Perkawinan seperti itu dipandang tidak
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan
dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau anak yang
dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain
sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan
sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah
pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang
sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama
Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum
Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat
bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan
li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.[13][13]
Berkaitan
dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret
mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya
pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi
unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang
telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain
melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ
وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ(رواه ابن ماجة عن عائشة)
Umumkanlah pernikahan dan
pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
عَوْفٍ)
Adakanlah
walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR.
al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Apabila
terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan,
pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan
tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan
dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di
Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal
ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya
kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu
sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri,
hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Melalui
pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi
perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung
jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki
bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap
sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau
peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan
bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini
adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak diingkari perubahan hukum karena
perubahan zaman.
Ibnu
al-Qayyim menyatakan[14][14] :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى
وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan fatwa dan perbedaannya
terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat,
seperti disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila
akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya
akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan.
Dengan
demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan
yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan
digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan
pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[15][15] Penetapan
hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan
hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ
الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Suatu
tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan
rakyatnya.
K. Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh
suami)
1) Terkait
kebendaan
Salah
satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan
bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya
sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua
adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang
harus diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)
2) Hak
bukan kebendaan (rohaniyah)
ü Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak
menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
ü Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati
istrinya. Tahu sendiri kan hati wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami
yang menghardik istrinya karena tak bisa melampiaskan kekesalan yang ada dalam
hatinya.
ü Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin
melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan
dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah suami yang baik, dia tak akan pernah
menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum hanya
untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi
seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan seperti itu tak akan
mendatangkan manfaat.
ü Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta
dari suaminya.
ü Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada
istri yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK
BOLEH melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum bisa
memenuhi kebutuhan tersebut.
ü Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak
semua pria ingin melakukan poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu
ini.
L. Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri
kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan
benda, karena istri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan
untuk mencukupkan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri
tak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina
keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung
keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan
suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau
suaminya meninggal.
ü Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
ü Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya
untuk melakukan perbuatan maksiat.
ü Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak
ada di rumah.
ü Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak
disukai suaminya. Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan
perempuan nya ke rumah selama suami tidak ada.
ü Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak
dipandang dan suara yang tidak enak didengar.
ü Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi
yang semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon
dan media yang lain.
M. Hak bersama suami istri
Telah
dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang
untuk mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan
punggung istrinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk
menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat
(denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut
jika ingin kembali pada istrinya.
1. Pertama,
hak untuk saling mendapatkan warisan
2. Kedua,
Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3. Suami
istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4. Hendaknya
saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19
– Al-Hujuraat: 10)
5. Hendaknya
menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6. Hendaknya
saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7. Sedangkan
kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri
adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan
memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bagaimanapun
aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal yang
mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal),
pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi
ketika ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan
ini boleh-boleh saja dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk
melarang apalagi mentidaksahkan pernikahan ini.[16][16]
Dengan
demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan
yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak
diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan
digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan
pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR
PUSTAKA
ý Al-Jaziri, Abdurrahman.
1986. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
ý Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr
bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun. Kifayah
al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
ý Djalil, Abdul. 2000. Fiqh
Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
ý Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
ý Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam.
Yogyakarta: UII Press
ý Redaksi Sinar Grafika.
2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan
Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri
Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
ý Shihab, Muhammad Quraish.
2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera
Hati
ý Sudarsono. 1997. Hukum
Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
ý Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar
Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadil
Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
ý Pencatatan Nikah Akan
Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
No comments:
Post a Comment